Racau rinduku.
Saat dirundung rindu pada lelaki tampan itu, terkadang
aku berakhir merenung lalu menangis. Aku selalu teringat selama bersama
dirinya, ia tak segan memeluk dinginku, menyeka tangisku, dan memecah riuh di
kepalaku. Lelaki pertama yang datang padaku dan bercerita bahwa sebagai lelaki ia
pernah menangis di pelukan ibunya. Mendengarnya aku terkejut, menurutku menangis
adalah satu hal yang paling dihindari oleh laki-laki, apalagi menceritakannya.
Sejak hari itu aku jatuh cinta padanya. Pada seluruh yang
ia punya, ceritanya, senyumnya, tatapan matanya, tutur katanya, semua miliknya.
Dulu, aku bebas menelfonnya kapan saja ku rindu. Jika aku rindu, aku akan
mengirimkan pesan padanya, “aduh aku lemes banget seharian ga liat orang
ganteng,” lalu ia akan membalas, “sebentar, aku otw pulang.” Sesampainya
di rumah ia akan menelfonku dan kami berbincang, sampai malam.
Aku senang melihat rupa tampannya saat ia tertidur, di
pagi hari saat aku terbangun terkadang ia masih memejamkan matanya. Biasanya ia tidur
lagi setelah shalat Subuh, sembari menunggu informasi jadwal pertemuannya dengan
relasi sebayanya (baca: ngopi). Aku senang melihatnya tidur, matanya terpejam
dengan sangat manis, ku harap ia selalu dihampiri mimpi-mimpi baik dalam tidurnya.
Satu hal yang kusenangi lagi tentangnya, ketika bangun dari mimpinya ia akan
mengucapkan, “selamat pagi,” padaku dengan suara serak khas bangun tidurnya. Sungguh,
pagiku akan sangat indah disebabkannya.
Dan kini, aku sendiri, lagi. Tanpa suaranya, tanpa ucapan
selamat pagi darinya, tanpa dirinya. Hanya dibersamai senyum yang sengaja
kutangkap saat kami berbincang di panggilan telepon, beberapa chat yang sengaja
kubintangi, dan beberapa pap sekali lihat yang tersimpan di ingatan. Kini, tak
ada lagi pembaca pertama tulisan-tulisanku sebelum pada akhirnya kuunggah di
laman blogspot ini. Seluruhnya, aku sendiri-lagi.
Ia tak hilang, ku rasa. Barangkali ia hanya menepi sejenak, mengambil jeda untuk berpikir tentang masa depannya. Sebelum mungkin menghadapi berisikku kembali. Sampai hari ini, aku masih mengingat seluruh tentangnya. Aku mengingatnya di seluruh belahan kota, di halaman kos samping masjid, di kios penjual minuman pinggir jalan, di kios sayur dekat kos ku, di tempat terakhir sebelum kami berpisah hingga kini, dan di seluruh jalan kota ini. Namun, hingga kini aku tetap menemuinya pada angin yang membawa dirinya.
Komentar
Posting Komentar