Seluruhnya Kupeluk Sendiri
Ini aku, bukan saya juga bukan kami. Bernama aku, sebab ingin merasa dekat dan dicintai oleh siapapun yang membaca tulisan ini. Bernama aku bukan kami, sebab seluruhnya kupeluk sendiri.
Ini aku, manusia bergelar anak pertama yang katanya harus menjadi contoh bagi adik-adiknya. Ini aku, manusia berkelamin vagina yang katanya harus berhati seluas samudra.
Siapa? Siapa yang berani berkata demikian pertama kali? Sialnya, perkataan tersebut menjadi tolak ukur orang tuaku saat membesarkan aku. Harus menjadi contoh yang baik bagi adik, dan harus memiliki hati luas meski disakiti oleh siapapun yang mengusik. Mirisnya, perkataan itu tertancap di kepalaku sebagai patokan untuk hidup menjadi manusia yang memang pantas hidup.
Saking kuatnya didikan yang diberikan, Bapak dan Ibu mungkin berpikir bahwa aku adalah manusia Gatotkaca dengan otot kawat tulang besi. Ah ... untukku mungkin dapat diganti otak kawat hati besi, yang bisa dibebani dengan permasalahan dan kontradiksi yang berbeda setiap hari.
Tapi, seringkali suaraku diputus, inginku hanya sebatas angan, tangisku hanya sebatas nyaris, bahkan pelikku tak pernah mendapatkan peluk.
Beberapa kali kukatakan pada teman-temanku, bahwa aku iri pada mereka yang katanya sering menangis pada Ibunya, yang tak jarang dipeluk Ayahnya, yang dengan bangga menceritakan keluarga cemaranya. Akupun demikian, bercerita betapa asrinya keluargaku. Tanpa pernah membuat mereka curiga dan bertanya, “Jika benar seasri itu, mengapa aku harus kesana kemari menghangatkan diri?”
Seringkali menjadi manusia tak tau diri, memaksa peluk pada manusia lain yang hidupnya bahkan tak lebih ringan dibandingkan aku. Kata mereka, banyak manusia di luar sana yang hidupnya lebih berat tapi tak seberisik aku. Mereka tak tau, padahal banyak teriak dan tangisku yang kubungkam dengan tangan pun bantalku. Mereka juga tak tau, kepalaku yang berisik seringkali kusumpal dengan agar tak mengusik.
Ingin sesekali aku berteriak, menjelaskan pada mereka bahwa aku manusia yang juga hidup komplit dengan rasa lelah dan lemah. Tapi jangankan berteriak, berbicara kecil saja telinga mereka mendadak tuli. Katanya, apa yang kurasakan terlalu sepele di usiaku yang belum sedewasa mereka. Lalu, aku harus menunggu berapa lama untuk suaraku dapat didengar dengan jelas tanpa diputus dan pupus?
Komentar
Posting Komentar